16 August 2015

Membangun bangsa dari dalam diri...

Barangkali ada banyak kisah yang telah kita baca, namun mendengar penuturan langsung dari pelaku akan memberi kesan yang lebih mendalam. Beberapa waktu terakhir ini, kami telah dipertemukan dengan beberapa sahabat yang berasal dari negara yang kurang beruntung. Berawal dari perbadaan cara pandang, negara mereka kini mengalami perpecahan dan pertumpahan darah. Berawal dari perselisihan, negara mereka kini kehilangan kedaulatan dan dicengkeram oleh kekuasaan asing.

Mengamati perjalanan waktu demi waktu, lintasan peristiwa di negeri kita, terbersit perasaan duka. Perkara yang sangat mudah, jika kita sekedar ingin menemukan ketidakadilan dan kesengsaraan. Bahkan dengan acak, sembari menutup mata, kita dapat merasakannya. Sebaliknya, terkadang sangat sulit untuk melihat kebaikan-kebaikan yang berserakan. Bagaikan mencari semut hitam pada malam yang gelap gulita.

Mari sejenak merenung. Jika kita berada di suatu negara yang jauh dan asing, tanpa perbekalan yang layak. Bukan bermaksud berwisata, bekerja atau belajar, namun menyelamatkan sehelai nyawa, sebagai seorang pelarian atau orang yang terusir. Tidak mengetahui kabar berita dan tercerai-berai dari sahabat, keluarga serta sanak saudara. Namun demikian, ulasan tentang kehancuran, kematian dan kesengsaraan dari tanah air senantiasa terpampang jelas di setiap media.

Cukuplah cerita dari seorang sahabat menjadi pelajaran. Ia yang baru saja mencatatkan tinta emas sebagai lulusan program doktoral dengan waktu studi yang singkat, dan dengan publikasi ilmiah yang berlimpah. Ia yang mendapatkan pujian dan sanjungan dari sang profesor penguji. Ia yang menjadi tempat bertanya dan referensi berjalan bagi rekan-rekan kerjanya. Ia pula yang bercerita bahwa saat ini tidak dapat pulang ke negara asalnya karena konflik yang tak kunjung usai. Ia pula yang bercerita tentang kerinduan mendalam kepada saudaranya yang sampai kini tiada kabar berita di sana.

Tidak diragukan lagi, keadaan di negara kita jauh lebih baik. Barangkali, akan berderet panjang antrian orang-orang yang dengan senang hati dan antusias,  ingin bertukar posisi dengan kita, menjadi warganegara Indonesia. Oleh karena itu, ketika muncul perasaan duka, maka jangan pula melupakan  kenikmatan yang telah kita terima, walaupun kehadirannya seringkali tidak disadari. Kenikmatan berupa rasa aman dan perlindungan, serta kesempatan dan berbagai kemudahan untuk berpartisipasi.

Mari bersama, kita saling mengingatkan untuk saling memperbaiki diri. Paling utama mulai dari diri pribadi. Setidaknya tidak menjadi bagian dari masalah, serta sebaiknya berkontribusi memberikan manfaat. Bahu-membahu menambal celah-celah keburukan, bergotong-royong merawat benih-benih kebaikan.

Mari bersama, kita saling membangun kepercayaan dan tidak mudah untuk di adu domba. Kritis terhadap berita media dan tidak latah menyebarkan kabar angin yang dapat memantik api kecurigaan. Cukuplah kritik dan nasihat kita sampaikan secara langsung dan tertutup. Tidak perlu disampaikan di depan khalayak umum, apalagi secara masif. Bukanlah kecenderungan hati kita merasa senang ketika dikritik atau dinasihati di depan umum, namun sebaliknya rasa hina dan malu yang akan hinggap, serta kesombongan diri yang kemudian akan mengabaikan serta menolak kritik dan nasihat yang benar.

Mari bersama, kita senantiasa berharap kebaikan untuk para pemimpin kita. Tidaklah sederhana mengatur suatu bangsa, bahkan mengatur diri sendiripun sangatlah sulit. Jangan pula lalai terhadap peran kita sebagai pemimpin keluarga, karena dari keluarga generasi bangsa kita bermula dan dari keluarga pula kita dapat membangun pondasi yang kokoh untuk pembangunan negara.

Mari memulai dari dalam, dari perkara yang kecil dan mudah, dari diri sendiri, dari keluarga. Barangkali tidak ada yang akan menyadarinya, merasakannya, melihatnya, atau memberikan apresiasi, namun setidaknya kita berupaya sekuat tenaga agar diri dan keluarga kita tidak menambah beban berat bagi orang-orang terdekat, juga bagi Bangsa dan Negara Indonesia.

Bersatulah Bangsaku untuk kejayaan tumpah darahku, Indonesia...
Merdeka.!
Helsinki, 16 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment